Sunday, June 3, 2007

Serbuan Rentenir Mencekik Umat

Para rentenir berkeliaran. Ada yang datang ke rumah-rumah. Ada juga yang menyebar brosur. Ada pula yang memasang iklan di berbagai media. Umat dicekik para rentenir.
Jumat, 27 April 2007. Begitu mendapatkan sebuah selebaran bertuliskan PERLU UANG TUNAI Buruan Jaminkan BPKB Motor atau Mobil Anda, Sabili langsung menghubungi kantor PT Mitra Dana Putra Utama Finance yang beralamat di Jalan Samanhudi nomor 77 Jakarta. Ketika dihubungi, dari ujung telepon, suara seorang perempuan meminta Sabili datang ke kantor pusatnya di Jalan Batu Tulis Raya nomor 8. Sabili pun segera meluncur ke lokasi dimaksud.
Ketika tiba di kantor yang berada di lantai dua sebuah bangunan ruko itu, Sabili langsung diterima oleh seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun. Saat diminta untuk wawancara mengenai prosedur peminjaman, pegawai perempuan itu menolak. Ia merekomendasikan Sabili untuk mendatangi kantor pusat di daerah pertokoan Duta Merlin, yang terletak di daerah Kota. Setelah berburu selama sekitar 30 menit mencari gedung kantor pusat perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan kendaraan itu, akhirnya Sabili menemukannya. Gedung empat lantai itu tampak lengang. Resepsionis yang ditemui, dengan acuh tak acuh menolak merekomendasikan orang-orang yang ada dalam gedung untuk diwawancarai.
Menurut mereka, para bos sedang keluar kota. Tak ada yang di tempat. Mereka menyarankan untuk menghubungi seorang perempuan bernama Rini bagian HRD agar dihubungi Senin (30/4). Sayangnya, ketika dihubungi, ponsel Rini tak ada jawaban. Bahkan, sampai tulisan ini diturunkan, nomor ponselnya tetap tidak bisa dihubungi. Namun dari pamflet yang disebar, PT Mitra Dana Putra Utama Finance ini bisa memberikan pinjaman dengan beberapa persyaratan. Di antaranya, Fotokopi KTP, Kartu Keluarga, Rekening Listrik terbaru, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Motor minimal tahun 2001, dan BPKB mobil minimal tahun 1991. Dari daftar yang tertera pada brosur, nominal pinjaman beragam. Dari satu juta hingga 20 juta. Pengembalian bisa diangsur selama 3, 6, 12 atau 18 bulan.
Kalau pinjaman sebesar 1 juta, maka angsuran selama tiga bulan sebesar Rp 399.500. Atau dengan pengembalian dana sebesar Rp 1.198.500. Berarti, bunganya sebesar Rp 198.500. Semakin besar pinjaman, maka semakin besar juga dana yang harus dikembalikan.Kalau pinjaman sebesar 20 juta, maka pengembalian sebesar Rp 1.632.000 selama 18 bulan. Jika ditotalkan, jumlah uang yang dikembalikan sebesar Rp 29.376.000, dengan bunga sebesar Rp 9.376.000. Praktik pinjaman berbunga ini dapat dengan mudah ditemukan. Kita tinggal bukan internet dan mengetik: PINJAMAN JAMINAN BPKB. Maka, akan ditemukan puluhan lembaga yang akan menawarkan pinjaman. Di media cetak, kita juga akan dengan mudah menemukan iklan-iklan yang menawarkan bantuan uang pinjaman berbunga.
Sabili sempat juga menemukan pamflet ditempel di sebuah pintu bis. Sabili hanya sempat mencatat nomor telepon yang tertera di pamflet tersebut. Ketika dihubungi via telepon, Senin (30/4), terdengar suara perempuan yang memperkenalkan diri dengan nama Tini. Menurutnya, perusahaannya sudah berjalan berpuluh tahun. Perusahaannya bisa meminjamkan uang dengan syarat Fotokopi KTP, surat-surat mobil, BPKB, dan Kartu Keluarga. Kalau pinjaman sebesar 25 juta, maka peminjam harus mencicil 1,5 juta perbulan selama dua tahun. Kalau ditotalkan jumlahnya mencapai 36 juta! Berarti jumlah bunga yang harus dibayar adalah 11 juta!Praktik riba tak hanya merebak di perkotaan. Di sebuah daerah wilayah Baturaja Sumatera Selatan, para petani juga banyak yang terjerat riba tanpa mereka sadari. Sebut misalnya, pengalaman Samyo (38) yang membuka warung kelontongan di tempat tinggalnya. Hingga kini, perempuan ini masih sering meminjam uang dari sebuah lembaga yang menamakan diri “koperasi”. Padahal Samyo bukanlah anggota dari koperasi tersebut. Namun ia bisa dengan leluasa meminjam uang berapa pun yang ia butuhkan. Bahkan untuk pinjaman yang kurang dari 1 juta, ia tak perlu agunan.Menurut penuturannya, biasanya ia meminjam uang sebesar 100 ribu rupiah. Selama satu bulan, setiap hari ia akan didatangi oleh seorang petugas yang akan memungut darinya uang sebesar Rp 4.000 per hari. Jika ditotalkan, ia harus membayar uang sebesar 30 X Rp 4.000 = 120 ribu rupiah per bulan. Ketika ditanya, apakah Samyo mengetahui bahwa tindakannya itu riba, ia mengaku tidak tahu. Bahkan, justru ia menganggapnya seperti arisan. “Saya anggap ini seperti arisan. Kebetulan saya yang dapat duluan,” demikian kira-kira alasannya. Ia pun merasa tidak keberatan dengan tambahan 20 ribu setiap bulan.Kasus seperti ini tak hanya dialami oleh Samyo. Sebagian besar penduduk kampung tempat tinggalnya mengaku mengetahui kasus ini dan semua menganggapnya “boleh”. “Kalau ada yang kesulitan membayar uang sekolah anak, rata-rata orang sini pinjam sama koperasi,” tutur Zumrawi (42) ayah tiga anak yang juga sering meminjam uang dari lembaga tersebut. Bahkan, seperti dituturkan Dani (28) kepada Sabili via telepon, begitu akrabnya para penduduk kampung dengan “koperasi” itu, ada di antara putri mereka yang sampai menikah dengan salah seorang petugas yang memang datang hampir setiap hari. Ironisnya, seperti dituturkan Samyo, penduduk kampung tak mengetahui kalau tindakan mereka itu termasuk riba yang diharamkan agama.Praktik riba benar-benar telah menjalar dalam masyarakat. “Kita melihat praktik riba sudah begitu dahsyat dan menggurita.
Masyarakat kita tidak lagi menganggap itu sebuah dosa. Jangankan dianggap sebagai dosa besar. Bahkan mungkin dosa kecil tidak terbayang oleh mereka. Padahal itu adalah dosa yang sangat besar,” keluh Prof Dr Didin Hafidhuddin kepada Sabili. Pengasuh Pesantren Ulil Albab Bogor ini mencontohkan, kredit rumah dengan bunga, pinjam meminjam dengan sistem bunga yang angsurannya sangat fluktuatif tergantung bunganya.Praktik riba tak boleh ditolerir karena bisa merusak masyarakat dan hanya akan menguntungkan kalangan rentenir. Seperti dituturkan Ketua Tim FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan) Abu Deedat Syihabuddin, di sebuah wilayah Tasik, Jawa Barat, merebak para rentenir yang justru banyak dilakukan Kristen Batak. Bahkan banyak di antara mereka menurut Abu Deedat yang punya rumah sendiri. Menurutnya, di antaranya mereka melakukan dua pilihan, barang peminjam yang nggak mampu bayar disita, atau membayar utang berlipat ganda. Sebagaimana pernah dilaporkan Liputan6.com, ratusan warga berunjuk rasa di pelataran Kantor Wali Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, baru-baru ini.
Mereka memrotes banyaknya perusahaan keuangan yang merugikan warga dengan para penagih yang kasar. Massa meminta pemerintah tegas menertibkan perusahaan tersebut. Aksi warga dijaga ketat Satuan Polisi Pamong Praja Pemkot Tasikmalaya.Sementara itu jajaran Kepolisian Resor Kota Bandung Barat menyegel kantor PT Solomons Investment karena perusahaan yang bergerak dalam bidang konsultasi valuta asing dan bursa berjangka ini tak dapat menunjukkan izin usaha. Hal ini untuk mencegah kemungkinan terulangnya kasus penipuan jasa keuangan nonperbankan seperti yang dilakukan PT Inter Banking Bisnis Terencana (IBIST).Pemimpin PT IBIST, Wandi Sofyan, yang buron sejak November 2006, diringkus di rumah kontrakannya di kawasan Bebedahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (14/3) siang. Polisi menyita dua senjata api di pinggang Wandi berikut 500 butir peluru kaliber 22 dan 32 di tempat persembunyiannya. Aparat juga menyita delapan buah kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan paspor atas nama Wandi, termasuk tiga kartu identitas atas nama Wandi dan Andi.Wandi Sofyan diburu polisi karena menjadi tersangka penipuan terhadap ribuan nasabah PT IBIST dengan kerugian mencapai Rp 57 miliar.
Selama buron, dia kerap berpindah-pindah. Pendiri PT IBIST sejak 1991 ini antaranya sempat dua bulan menginap di hotel berbintang di kawasan Thamrin, Jakarta Selatan. Ia lalu pindah ke Yogyakarta dan Tasikmalaya.Di antara penyebabnya, menurut Ketua Tim FAKTA ini, Pertama, kondisi ekonomi di Tasikmalaya yang sedang parah. Rata-rata penduduk Tasikmalaya itu petani dan pedagang (home industry). Secara umum pendapatan mereka sedang menurun, sehingga desakan kebutuhan itu tak tertanggulangi lewat usaha-usaha yang ada. Akhirnya, mereka lari ke orang yang memang pandai memanfaatkan kesulitan ekonomi orang untuk keuntungan pribadinya.Kedua, perasaaan dibantu oleh para rentenir. Kondisi sulit ekonomi ini, membuat warga Tasikmalaya merasa kehadiran para rentenir ini seperti orang-orang yang memberikan bantuan atas kesulitan mereka. Ketiga, rasa takut. Orang Tasikmalaya merasa takut dengan para rentenir yang telah memberikan pinjaman kepada mereka. Keempat, di Tasikmalaya tidak ada paguyuban warga seperti di Minang ada IKM (Ikatan Keluarga Minang) atau tempat lain.
Sangat disayangkan kata Abu Deedat, para rentenir itu bahkan sempat mendirikan gereja. Meski kasus ini memerlukan investigasi khusus, tapi menurut Abu Deedat, ketika kondisi ekonomi masyarakat lemah, mereka akan dengan mudah dijerat para rentenir.Kondisi ini akan semakin parah manakala jerat riba kian menguat. Seperti diungkapkan Didin Hafidhuddin, sistem riba akan menyebabkan kesenjangan sosial. “Sekarang orang kaya semakin kaya. Orang miskin semakin miskin,” ujar Didin. Bahkan menurutnya ada sebuah penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan di Inggris dari The New Economic Foundation. Dari setiap penghasilan 100 dolar AS, yang dinikmati oleh orang-orang fakir miskin atau orang-orang lemah itu hanya 2,8 dolar. Jadi 97,2 dinikmati oleh orang kaya.
Menurut mantan Rektor Universitas Ibnu Khaldun ini, sistem bunga memang demikian, menyebabkan orang yang punya uang tak mau terjun pada sektor ril. “Karena sektor riil itu ada resiko. Risiko untung, resiko rugi,” jelas Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).Untuk itu, Didin Hafidhuddin menyarankan, agar kaum Muslimin menggerakkan semua potensi untuk memperkuat ekonomi alternatif. “Bank-bank syariah itu harus tampil lebih meyakinkan SDM-nya, produk-produknya, asuransi syariah, pegadaian syariah dan produk lainnya,” papar alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini.“Kalau sistem riba di Indonesia, nggak diganti dengan sistem syariah yang berdasarkan sistem bagi hasil, kita akan semakin terpuruk. Secara sosial kita akan terpuruk, dan umat juga akan terpuruk,” pungkas Didin Hafidhuddin.Kembali ke sistem syariah, yuk!

Hepi Andi BastoniLaporan: E Sudarmaji, Faris Khoirul Anam, Diyah Kusumawardhani

Pilih Dakwah atau Politik

Berbagai macam spekulasi berkembang tentang masa depan DDII sepeninggal Bang Hussein. Apa yang harus diutamakan, bergerak pada tataran dakwah atau politik?
Sebagai “titisan” Masyumi, aroma politik dalam gerak langkah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) memang tidak bisa lepaskan. Apalagi, salah satu tokoh dan pendiri DDII, Mohammad Natsir, termasuk dalam jajaran politikus ulung sekaligus dai tangguh. Sebagian kalangan menilai, tokoh-tokoh DDII yang muncul belakangan, masih belum ada yang benar-benar menjadi penerus Natsir. Setidaknya, hal inilah yang muncul dalam pandangan pengamat politik Ahmad Suhelmi. Yang jelas, kata Suhelmi, pengaruh DDII di zaman Natsir, berbeda signifikan dibandingkan setelah beliau wafat.
DDII punya kharisma yang sangat kuat karena ketokohan Pak Natsir. “Saat ini jauh lebih menyusut. Orang melihat Dewan Dakwah di zaman Pak Natsir jauh lebih berwibawa.”Menurut Dosen FISIP Universitas Indonesia ini, faktor SDM (Sumber Daya Manusia) merupakan salah satu sebabnya. Tidak terjadi regenerasi yang utuh dalam gerakan dakwah DDII. “Coba lihat, mana pemimpin-pemimpin yang muncul? Tokoh-tokoh Islam, baik sebagai dai dan sebagai intelektual yang muncul dari kalangan Dewan Dakwah, hanya segelintir saja. Jadi, proses kaderisasi dakwah itu tidak berjalan,” papar Suhelmi.Salah satu persoalan dalam melakukan kaderisasi di tubuh DDII adalah statusnya sendiri.
DDII adalah lembaga dakwah yang berbentuk yayasan, bukan ormas. Hal ini diungkapkan oleh Ketua FUI (Forum Umat Islam) Mashadi. Menurut pria berjenggot ini, DDII harus punya sayap organisasi yang bisa dijadikan sarana rekrutmen anggota, pembinaan, pengenalan ide-ide, cita-cita yang dulu pernah digagas oleh para pemimpin Masyumi. “Itu bisa menjadi sebuah solusi agar DDII bisa tetap eksis dengan orang-orang baru,” ujarnya. Mashadi juga pernah menyarankan agar DDII diubah statusnya menjadi ormas, demi regenerasi.Walau demikian, umat Islam tidak boleh pesimis dan skeptis dengan proses regenerasi di tubuh DDII.
Setelah wafatnya Ustadz Hussein Umar, masih banyak tokoh DDII yang siap meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. “Kita tidak boleh skeptis. Kita harus tetap optimis,” ujar Ketua Umum KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) Ahmad Sumargono. Hal ini pula yang ditegaskan oleh Amir MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Prospek DDII akan tetap baik, karena masih banyak kadernya. “Insya Allah, mereka masih bisa melanjutkan cita-cita DDII. Mudah-mudahan akan lebih baik lagi nanti,” harapnya. “Saya tidak berkecil hati mengenai DDII. Allah akan terus mengangkatnya.” Harapan Ustadz Abu, sejalan dengan harapan pengurus DPP HTI, Muhammad al-Khaththath. Bagi Khaththath, DDII adalah perekat dakwah yang mengimplementasikan apa yang diminta Allah SWT dalam surah Ali Imran: 104, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." “Saya kira inilah yang kita harapkan dari Dewan Dakwah. Memerintahkan dakwah yang terkemuka karena ia dibangun oleh M Natsir—almarhum—yang sangat terkemuka dalam dakwah di Indonesia,” jelasnya.Dalam Fiqh Dakwah Natsir, kata Khaththath, ayat inilah yang menjadi penggerak dari seluruh gerakan yang dilakukan Dewan Dakwah. “Harapan kita bersama, Dewan Dakwah jangan pudar atau surut ke belakang. Harus maju bersama-sama!” Pada zaman Pak Natsir, DDII dikenal concern dalam bidang politik maupun dakwah. Akankah kedua bidang ini akan tetap menjadi fokus DDII ke depan? Sumargono berharap DDII tetap seimbang dalam menjalankan dua peran tersebut. “Terlalu politik praktis kurang bagus. Dakwah saja dengan menafikan kondisi politik, nanti umatnya buta politik,” kata politisi dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang akrab dipanggil Bang Gogon ini.
Untuk menyeimbangkan kedua bidang garapan ini, menurut Gogon, jabatan ketua mungkin tidak perlu diadakan. Lebih baik dimunculkan departemen khusus yang spesial untuk mengolah masalah-masalah politik. Kemudian mengadakan hubungan dengan organisasi-organisasi yang ada, membangun ukhuwah Islamiyah dan segala macamnya.Pengasuh Pesantren Ulil Albab, KH Didin Hafiduddin menegaskan, antara dakwah dan politik dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Politik untuk berdakwah. Berdakwah pun harus menggunakan politik. “Banyak hal yang perlu kita lakukan lewat politik,” ujarnya. “Misalnya, produk undang-undang kan tidak bisa diperjuangkan kecuali lewat politik. Demikian pula, memperbanyak anggota dewan yang concern dakwah pada syariat Islam.” Karena itu, kata KH Didin, tidak perlu dipisahkan secara jelas antara dakwah dan politik karena pasti akan bersentuhan. Yang paling penting untuk dilakukan oleh DDII ada dua hal: Pertama, menjaga masyarakat supaya lurus akidahnya. “Amar makruf nahi munkar itu membangun kekuatan umat. Kalau ada kristenisasi, DDII harus tampil. Ada sekularisasi, DDII harus tampil.” Kedua, DDII harus concern dalam mencetak kader-kader dakwah. Meningkatkan kualitas dai-dai yang ada. Misalnya, tiap tiga bulan atau enam bulan sekali, DDII mengadakan training-training dai secara nasional maupun secara lokal. “Dai-dai yang ada di mana-mana ini kita kumpulkan dan berikan pelatihan, dikoordinasikan oleh DDII. Tentu saja, dalam melaksanakan tugas yang besar ini, DDII perlu kerja sama dengan berbagai ormas dan lembaga-lembaga Islam,” ujar KH Didin.
Sebagai lembaga dakwah Islamiyah, DDII pastinya akan tetap bergerak dan berjuang, baik di bidang dakwah maupun politik. Semoga warisan Pak Natsir ini tetap tabah dan kokoh menyongsong tantangan di masa depan.

Chairul AkhmadLaporan: Diyah Kusumawardhani, Faris Khoirul Anam