Wednesday, July 9, 2008

Brutalisme Teroris Amerika Tewaskan 27 Warga Sipil yang Sedang Menuju Tempat Pernikahan

Afghan (arrahmah) - Sedikitnya 27 orang warga sipil Afghanistan tewas dibunuh pasukan teroris penjajah Amerika Serikat. Tindakan brutal teroris Amerika ini menggunakan dua helikopter menyerang dua kendaran sipil yang sedang menuju tempat pernikahan di Provinsi Nangarhar. Brutalisme Amerika Serakah tidak boleh terus terjadi. Khilafah Rasyidah akan segera menghentikannya.

“Sore ini (4/7), dua kendaraan sipil menjadi korban serangan udara, 22 Orang warga sipil terbunuh di Distrik Waygal Propinsi Nuristan,” terang Tamim Nuristani seperti dilansir Associated Press, Sabtu (5/7/2008).

Kepala Pejabat pemerintah Haji Amishah Gul di distrik Deh Bala Provinsi Nangarhar mengatakan para penduduk desa telah dilaporkan antara 30 hingga 35 orang melakukan perjalanan menuju sebuah pesta pernikahan, dibombardir oleh pasukan koalisi. Wanita dan anak-anak pun menjadi korban tindakan teroris Amerika yang brutal. Lebih dari 2.100 orang tewas akibat brutalisme pasukan AS di Afgahnistan selama setahun terakhir ini.

Darah kaum Muslim tiada henti mengalir. Tanah-tanah mereka terus dijajah oleh Amerika Serakah. Untuk apa pasukan Amerika berada di Afghanistan selain melakukan penjajahan dan pembunuhan. Lalu mengapa kaum Muslim berdiam diri dan di mana tentara-tentara Shalahuddin Al-Ayubi itu? Di mana pula para penguasa Muslim saat ini? Suatu saat nanti di akhirat kelak, mereka semua akan di tanya oleh Rabb Penguasa Alam Raya atas diamnya mereka terhadap banjirnya darah kaum Muslim.

Brutalisme Amerika ini bukanlah yang pertamakalinya. Sejak konspirasi mereka pada peristiwa 11 September, Amerika membuat alasan untuk menggempur dunia Muslim. Tercatat lebih dari 1 juta warga Irak tewas akibat brutalisme Amerika. Ini semua menempatkan Amerika sebagai "mbahnya teroris".

Derita yang menimpa kaum Muslim harus tidak bisa terus berlanjut. Kebrutalan Amerika harus dihentikan. Hanya Khilafah Islamiyyah yang akan segera menghentikan tindakan brutal teroris Amerika tersebut. Hanya bagaimana bisa ini terjadi ketika umat Islam berdiam diri. Sedihnya malah mengikuti gaya hidupa ala Amerika. Jika umat Islam masih enggan mewujudkan Khilafah segera, maka suatu saat nanti, bisa jadi kita menjadi korban kebrutalan Amerika tersebut. Masihkah enggan untuk bersatu? [syabab]

Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta

Arrahmah Opini - Pesona Novel Ayat-ayat Cinta, telah menjulangkan nama penulisnya, Habiburrahman el-Shirazy, ke posisi Tokoh Perubahan 2007 versi Republika. Seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas al-Aqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan. Agen zionis, memang tidak pernah kehilangan cara untuk menemukan kaki tangan di bidang sastra dan budaya. Membaca novel ayat ayat cinta menyisakan beragam kesan. Mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi pluralisme agama?

LAHIR di Sema-rang, Kamis 30 September 1976, Habiburrahman el-Shi-razy, memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen; sambil belajar kitab ku-ning di Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir Ham-zah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Prog-ram Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995.

Setelah itu melanjut-kan pelajaran ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ha-dits di Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgra-duate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Stu-dies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.
Kembali ke tanah air pada pertenga-han Oktober 2002, ia di-minta ikut mentashih Ka-mus Populer Arab-Indo-nesia yang di-susun oleh KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pus-taka Jakarta, (Juni 2003). Ia juga menjadi kontributor pe-nyusunan En-siklopedi Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Pemikiran-nya, (terdiri atas tiga jilid di-tebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003).

Antara tahun 2003-2004, ia mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogja-karta. Selanjutnya sejak tahun 2004 hingga 2006, ia menjadi dosen Lem-baga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu Ba-kar Ash Shiddiq UMS Surakarta. Saat ini ia mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan pendi-dikan lewat karya-karya-nya dan pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia bersama adik dan temannya.

Dengan reputasi de-mikian, beralasan bila se-bagian pembaca mengido-lakannya bagai HAMKA Muda. Seperti juga dalam bidang pemikiran dan politik, khalayak Indonesia pernah menyematkan nama Natsir Muda pada diri Nurcholish Madjid. Apalagi penulis 'Ayat-ayat Cinta' cukup berprestasi internasional yang lama menimba ilmu di al-Azhar Mesir, dan akrab dengan budayawan serta novelis di Mesir yang terkenal se-bagai sarang pembinaan zionis.

Touris dan Dzimmi


Begitu gegap gempita publikasi Novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan ba-nyak pembaca kehilangan daya kritis. Sehingga nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasa adanya. Pada mulanya, barangkali se-kadar titipan ide, namun je-las titipan dimaksud men-jadi ide sentral rangkaian kisah cerita Novel Ayat-ayat Cinta.

Pada bagian ketiga di bawah judul 'Kejadian di Dalam Metro' misalnya, berlangsung cekcok an-tara rombongan turis Amerika dengan pe-numpang asli Mesir yang meledakkan ama-rahnya pada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka pada pemerintah Amerika yang aro-gan dan mem-bantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Pales-tina. Namun, dalam cekcok ter-sebut penulis menyalah-kan orang Mesir, dan memosisikan touris kafir yang berkunjung kenegara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahlu dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplo-matik, dengan manipulasi dalil agama. “Ahlu dzim-mah adalah semua non Muslim yang berada di dalam negara kaum Mus-limin, masuk secara legal, membayar visa, punya pas-por, hukumnya sama de-ngan ahlu dzimmah, da-rah dan kehormata n mereka harus dilindungi,” katanya.

Sebagai pembenaran atas pembelaannya pada bule Amerika itu, penulis mencomot sebuah hadits: “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku ber-arti dia menyakiti Allah.”

Padahal, menempat-kan touris asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar'iyah, te-tapi juga merusak tatanan syar'i secara keseluruhan. Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap touris, melainkan pada posisi yang disemat-kan, bahwa touris tidak sama dengan ahlu dzim--mah, baik hak maupun kewajibannya. Pem-bayaran visa tidak bisa di-samakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi touris dan ahlu dzimmah memiliki per-bedaan-per-bedaan sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Perbedaan itu antara lain: Pertama, Ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warganegara Negara Islam. Sedangkan touris tidak memiliki hak ke-warganegaraan, dan hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu.

Kedua, Dzimmi mem-punyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bila-mana pemerintah tidak bisa memenuhi hak ke-warganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa touris yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzim-mi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?

Ketiga, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan touris, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang ti-dak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang di-kunjunginya.

Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang di-pahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas pluralisme; sehingga meng-hilangkan kewaspadaan. Boleh jadi touris itu justru musuh yang sedang menya-mar, meneliti, atau men-jalankan misi intelijen. Novelis muda lulusan filsa-fat Al-Azhar Cairo itu, ber-gaya ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai 'ijti-had cemerlang'.

Untuk menetralisir kecurigaan, dan menang-kal virus berbahaya ter-utama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penu-lis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam ba-nyak kasus kedatangan touris-touris kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim. Bahkan sebagian sengaja disusupkan se-bagai mata-mata ter-selubung. Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemu-kan oleh para pejabat intelijen negara bahwa touris biasa dipakai kedok oleh para agen intelijen untuk menjalankan ope-rasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan 'baik sangka' daripada was-pada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi an-tar umat beragama, tanpa mempertimbangkan aki-batnya yang berbahaya.

Namun penulis alfa melakukannya. Maka, tidak aneh bila terdapat pembaca kritis mem-pertanyakan, misi siapa yang hendak dipasarkan oleh penulis di balik novelnya yang best seller tersebut? Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, me-rupakan ciri khas kom-prador zionisme yang ber-gentayangan di tengah-te-ngah masyarakat Muslim. Maka bukan mustahil, Novel Ayat-ayat Cinta yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar, menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah diformat oleh zionis-me internasional dan di-pasarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indo-nesia.

Tanpa pretensi 'buruk sangka' terhadap novelis muda Habiburrahman, ki-sah sampingan yang di-tampilkan berkaitan de-ngan touris Amerika itu, kita perlu mewaspadai adanya celupan misi zionis dalam obrolan seperti Kejadian di Dalam Metro itu. Sudah banyak pemuda yang diperalat untuk mengembangkan faham toleransi dan pluralisme agama melalui tokoh-tokoh Indonesia yang di-anggap cemerlang dan ber-pengaruh.

Habib Rizieq: Si goen ingin “Menggurui“ Saya dan Abubakar Ba’asyir tentang Iman

Jakarta (armnews) - Di balik jeruji besi, Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab masih lantang. Senin 23 Juni 2008, Advokasi Anti Ahmadiyah, selaku kuasa hukum Habib Muhammad Rizieq Shihab, mendatangi kantor majalah Tempo untuk menyampaikan hak jawab atas tulisan Catatan Pinggir Goenawan Mohamad di majalah itu pada edisi 16-22 Juni 2008.
Sayangnya, hak jawab itu tak dimuat di Tempo. Melalui humas FPI, bantahan yang sedianya sebagai hak jawab itu kemudian dikirim ke hidayatullah.com.

Dalam suratnya yang dikirim melalui faks itu, Habib Rizieq mengatakan panjang lebar tentang beberapa pandangan tulisan Goenawan tentang FPI dan dirinya.

“Setelah membaca catatan pinggir si goen dalam majalah Tempo edisi 16-22 Jui 2008, saya rasakan sel tahanan yang semula sempit dan pengap, berubah menjadi luas dan nyaman,” tulisnya.

“Tadinya, saya enggan menulis tanggapan ini, tapi karena si goen bertanya dan menantang, maka saya gunakan hak jawab saya. Di sini saya sengaja menulis namanya dengan singkat “si goen”, itupun cukup dengan huruf kecil. Bagi saya, huruf besar hanya untuk orang besar, apalagi nama Muhammad hanya untuk orang mulia.”

Sebagaimana diketahui, dalam rubrik “Catatan Pinggir” di majalah Tempo edisi 16-22 Jui 2008, Goenawan Muhammad yang juga dikenal pendiri Tempo menulis seputur FPI dan Habib Rizieq Shihab.

ImageDalam tulisan berjudul, “Indonesia”, mas Gun, begitu kalangan wartawan menyebutnya, mengulas banyak hal. Diantaranya menyinggung masalah keadilan, kebhinekaan, Pancasila dan masalah keimanan. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia bukan Arab Saudi dan bukan Turki. Dan tentusaja, kritik terhadap Habib Rizieq Shihab dan Ustad Abubakar Ba’asyir.

“Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi –juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang manapun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan,” tulis Goenawan.

Dalam tulisan lain, Goenawan juga mengatakan, “Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan –siapa pun, juga Saudara Baa’syir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai “egoriesme-agama.”

Menjawab tulisan itu, Habib Rizieq membalasnya. “Anehnya, si goen yang selama ini tidak pernah memuji pemerintah, tiba-tiba melalui catatan pinggirnya menjilat polisi, jaksa, hakim hingga Presiden, kenapa? Takut atau cari muka? Mungkin si goen sedang depresi, takut dituntut dab diperiksa sebagai “biang kerok“ insiden Monas? Atau si goen sedang ketar-ketir kedoknya terbuka sebagai antek asing? Atau si goen sedang bingung hilangkan jejak dana asing ratusan juta dolar yang diterimanya bersama “gang“ AKKBB dari bosnya Amerika melalui Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, NDI, Rockefeller, dll?”, tulis Rizieq.

“Lebih anehnya lagi, si goen ingin “menggurui“ saya dan Ustad Abubakar Ba’asyir tentang iman, ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan Pancasila.

Lucu, si goen dan “gerombolannya“ yang selama ini mati-matian membela pornografi, pornoaksi, seks bebas, homoseks, lesbi, nabi palsu, aliran sesat. Bahkan menghina Allah dan Rasul-Nya, memfitnah Islam dan Al-Quran. Dia ingin menggurui kami? Itukah “iman“ dan “ketuhanan“ yang ingin diajarkan si goen kepada saya dan Syeikh Baa’syir?!.”

“Indonesia memang bukan Arab atau Turki, tapi jangan lupa, Indonesia juga bukan Amerika! Indonesia memang bukan negara agama, tapi Indoneisa juga bukan negara syetan yang kau bisa seenaknya menistakan agama dan budaya,” tambah Habib Rizieq.

Ketua FPI berada di penjara Polda Metrojaya ini menyelesaikan pendidikan sarjananya dari Fakultas Hukum Islam di King of Saud University, Riyadh, Arab Saudi . Baru-baru ini ia juga lulus master di Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Tesis masternya yang dipuji oleh para guru besarnya itu berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia”.

Karena dianggap baik mutu riset dan penulisan tesisnya itu, para guru besar universitas tertua di Malaysia itu langsung mendukung Habib Rizieq meneruskan pendidikannya ke jenjang doktor. Akibat kasus Monas, studinya itu kita tertunda lagi.